Dikisahkan pada suatu hari, Sultan Hamid II didatangi oleh seorang pedagang yang terlilit hutang sehungga dia tidak sanggup melunasi hutanya itu, pedagang itu bernama Faisal. Setibanya dipintu istana pedagang bertemu dengan para pembantu Sultan, seraya menanyakan keperluannya datang ke istana untuk bertemu Sultan.
Para pembantu Sultan itu sudah berupaya memberikan uang kepada padagang itu dan pergi, namun pedagang itu tetap memaksa untuk bertemu Sultan Hamid II.
Akhirnya Para pembantu itu menghadap Sultan seraya memberitahu bahwa ada tamu yang ingin bertemu dengan Sultan Hamid. Tamu itupun di izinkan masuk ke istana diruang kerja Sultan Hamid II.
Sultan pun menanyai orang itu tentang keperluan apa ia datang ke istana untuk menemuinya. Orang itu lalu memberitahu maksud kedatangannya, yaitu menagih hutang kepada Sultan.
“Wahai Sultan, engkau punya hutang kepadaku, segera bayarlah hutangmu.”
Dengan begitu tenang Sultan Hamid II menjawab,
“Bagaimana dan sejak kapan aku berhutang padamu.”
Orang itu berkata,
“Sultan, aku adalah seorang pedagang, hutangku sangatlah banyak. Begitu banyaknya, sehingga aku tidak bisa lagi melunasinya. Aku hanya bisa berdoa kepada Tuhan setiap malamnya. Setiap aku hendak tidur aku selalu menengadahkan tangan. Hingga pada satu malam, aku bermimpi bertemu baginda Rasulullah SAW,”
“Wahai Sultan, dalam mimpi itu baginda Rasullullah bersabda kepada ku, katakan kepada Hamid ku, bahwa ia biasanya bershalawat untukku setiap malam, tapi malam kemaren ia lupa. Datangilah ia dan katakan keperluanmu kepadanya,” sambung pedangang itu kepada Sultan.
Mendengar ucapan itu, Sultan kemudian berdiri dan berjalan ke arah orang itu dan berkata,
“Coba engkau ulangi lagi bagaimana sabda beliau!”
Ketika orang itu mengulangi sabda Rasulullah Saw dalam mimpinya itu pada kalimat “Hamid ku” kemudian Sultah Hamid II membuka laci dimejanya dan mengeluarkan sekantong uang lalu diberikan kepada orang itu.
Lalu Sultan meminta mengulangi lagi sabda Rasulullah itu, baru ketika orang itu berkata, “Hamid ku”
Belum selesai ia melanjutkan, Sultan membuka laci mejanya dan memberikan sekantong uang kepada pedagang itu. Sambil berjalan ia bertanya lagi. “Bagaimana sabda beliau.”
“Hamidku . . .” jawab pedagang itu.
Belum pula selesai pedagang itu menjawab, Sultan melemparkan lagi sekantong uang kepadanya. Hal itu terjadi hingga beberapa kali.
Tidak ada yang lebih penting oleh Sultan ketika itu selain ucapan pedagang malang itu.
Mata Sultan mulai berkaca-kaca, sambil mengenang-ngenang kesalahannya. “Malam kemaren, aku bekerja hingga larut malam, hingga aku tertidur di meja kerjaku. Aku lupa bershalawat. Padahal aku selalu rutin mengirim doan dan sholawat kepada nya.”
Mendengar ucapan tuannya, orang kepercayaan Sultan pun ikut menangis, tak tahan menahan haru. Dengan haru pula pedagang itu bersegera meninggalkan istana.