KISAH SAHABAT ABDULLAH BIN AMR BIN ASH RA

kisah Islami

 

Abdullah bin Amr bin Ash RA adalah putra dari seorang ahli strategy perang dan negarawan ulung, Amr bin Ash,tetapi ia lebih dahulu memeluk Islam daripada bapaknya itu. Ia seorang yang saleh, banyak menghabiskan waktunya untuk beribadah, kecuali jika sedang berjihad di jalan Allah. Ketika menyandang senjata untuk mempertahankan dan meninggikan kalimat-kalimat Allah,ia akan berada di barisan terdepan karena sangat merindukan memperoleh ‘rezeqi’ kesyahidan.

Dalam usianya yang masih muda, aktivitas ibadahnya begitu tinggi, siang berpuasa, malam dihabiskan dengan tahajud dan membaca Al Qur’an sehingga ia mampu mengkhatamkannya dalam sehari. Ia begitu zuhud, bahkan tidak pernah ia membicarakan masalah duniawiah sejak ia berba’iat kepada Nabi SAW, padahal lingkungan keluarga termasuk kalangan bangsawan dan kaya-raya. Ketika ia dinikahkan, beberapa hari kemudian ayahnya datang mengunjungi dan bertemu istrinya. Amr bin Ash berkata, “Bagaimana keadaan kalian?”


Istrinya berkata, “Sungguh aku tidak mencela akhlak dan kesalehannya, tetapi sepertinya ia tidak membutuhkan seorang wanita di sisinya!!”

Amr bin Ash menatap tidak mengerti, tetapi kemudian ia mendapat penjelasan, kalau Abdullah bin Amr sama sekali belum menyentuhnya dalam beberapa hari setelah menikah itu. Ia begitu intens beribadah seperti biasanya, sehingga tidak ada sedikitpun waktu untuk istrinya. Hal itu memaksa Amr bin Ash melaporkannya kepada Rasululah SAW, sehinggabeliau campur tangan untuk ‘mengerem’ semangat ibadahnya. Tetapi di hadapan Rasulullah SAW, Abdullah bin Amr justru berkata, “Ya Rasulullah, ijinkanlah saya menggunakan sepenuh tenaga saya untuk beribadah kepada Allah?”

Nabi SAW bersabda, “Jika engkau melakukan semua itu, badanmu akan lemah, matamu akan sakit karena tidak tidur semalaman. Sesungguhnya badanmu punya hak, keluargamu juga punya hak, dan para tamupun punya hak atas dirimu…!”

Maka terjadilah “tawar-menawar” antara Abdullah dan Rasulullah SAW dalam soal ibadahnya. Kalau umumnya manusia akan meminta ijin beribadah seringan dan sesedikit mungkin, maka Abdullah meminta ijin untuk beribadah sebanyak dan seberat mungkin. Dalam soal puasa misalnya, Nabi SAW menyarankannya agar berpuasa tiga hari dalam sebulan, tetapi Abdullah minta tambahan, diberi dua hari dalam seminggu, masih minta tambahan lagi, akhirnya ditetapkan Nabi SAW sehari berpuasa sehari berbuka, yakni puasanya Nabi Dawud AS.

Begitu juga dalam soal mengkhatamkan Al Qur’an, pertama Nabi SAW menyarankannya untuk khatam sebulan sekali saja. Abdullah melakukan penawaran, sehingga Nabi SAW menetapkan 20 hari sekali, kemudian 10 hari sekali, dan seminggu sekali. Tetapi Ibnu Amr bin Ash masih meminta lebih lagi, akhirnya Nabi SAW menetapkannya untuk khatam Al Qur’an setiap tiga hari sekali (dalam riwayat lain, lima hari sekali). Begitu juga soal shalat malam, beliau melarang Abdullah menghabiskan waktu malam untuk shalat sunnah terus-menerus, harus ada waktu untuk mengistirahatkan tubuhnya dengan tidur, dan mempergauli istrinya.



Walau telah dinasehati langsung oleh Nabi SAW, semangatnya untuk beribadah tidak segera mengendor begitu saja, tetapi ia tidak melalaikan kewajiban dan hak-hak keluarga, badan, tamu dan lain-lainnya. Ibadahnya dengan intensitas tinggi masih saja berlangsung tanpa bisa dihalangi lagi. Melihat keadaannya itu, Nabi SAW akhirnya bersabda, “Sesungguhnya engkau tidak tahu, bisa jadi Allah akan memanjangkan umurmu…!!”

Benarlah apa yang disabdakan Nabi SAW, ia mencapai usia tua, tubuhnya mulai lemah dan tulangnya seakan tak mampu menyangga tubuhnya dalam waktu lama. Ia susah payah menetapi amal istiqomah yang telah “dijanjikannya” kepada Nabi SAW di masa mudanya. Ia jadi menyesal mengapa tidak menerima nasehat beliau saat mudanya itu. Ia seringkali berkata, “Aduhai malangnya nasibku, mengapa tidak aku ikuti keringanan yang diberikan Rasulullah SAW…!!”

Abdullah bin Amr mempunyai kebiasaan mencatat apapun yang disabdakan Nabi SAW, dalam sebuah catatan yang disebut Shadiqah, hal ini dimaksudkan agar ia mudah menghafalkannya. Rasulullah SAW memang pernah melarang para sahabat untuk mencatat sabda-sabda beliau karena dikhawatirkan akan tumpang tindih dengan ayat-ayat Al Qur’an. Tetapi kemudian Nabi SAW secara khusus menugaskan beberapa orang sahabat untuk mencatat firman-firman Allah tersebut, dan Ibnu Amr bin Ash tidak termasuk di dalamnya sehingga beliau membiarkannya.

Beberapa sahabat juga berkata, “Rasulullah SAW juga manusia biasa, terkadang beliau marah, dan dalam marahnya ini beliau mengatakan sesuatu. Begitu juga terkadang beliau hanya bercanda dalam ucapannya itu. Karena itu jangan engkau mencatat apapun yang beliau sabdakan!!”



Karena nasehat mereka ini, Abdullah bin Amr sempat menghentikan kebiasaannya tersebut. Tetapi tampaknya ia merasa ‘gatal’ jika sesaat saja tidak ‘merekam’ apa yang dilakukan Rasulullah SAW. Karena itu ia bertanya kepada Nabi SAW tentang apa yang dilakukannya, termasuk nasehat beberapa orang sahabat, maka beliau bersabda, “Teruskanlah menulis, demi Allah yang jiwaku ada di tanganNya, setiap perkataanku adalah kebenaran, walaupun aku dalam keadaan marah, ataupun senang.”

Abu Hurairah juga pernah berkomentar atas kebiasaan Abdullah bin Amr ini, “Di antara para sahabat, tidak ada yang menyamai saya dalam hal hafalan hadits-hadits Nabi SAW, kecuali Ibnu Amr bin Ash, karena dia selalu mencatat segala apa yang disabdakan Nabi SAW, sedangkan saya hanya mengandalkan ingatan saja.”

Ketika terjadi pertikaian antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah, sesungguhnya ia tidak ingin berpihak kepada kedua kelompok sebagaimana dianut beberapa sahabat seperti Muhammad bin Maslamah, Usamah bin Zaid, dan beberapa sahabat lainnya. Tetapi menjelang terjadinya perang Shiffin, ayahnya, Amr bin Ash yang berpihak kepada Muawiyah mendatanginya dan mengajaknya berperang di pihaknya. Abdullah bin Amrberkata, “Bagaimana mungkin? Rasulullah SAW telah berwasiat kepadaku untuk tidak menaruh pedangku di leher seorang muslim untuk selama-lamanya…..!!”

Bukan Amr bin Ash namanya kalau tidak mampu bersiasat, ia mengemukakan berbagai alasan, terutama menyangkut “menuntut bela atas pembunuhan Utsman bin Affan”. Setelah beberapa argumen ayahnya mampu dipatahkannya, akhirnya Amr bin Ash berkata, “Ingatkah engkau wahai Abdullah wasiat terakhir Nabi SAW, beliau mengambil tanganmu dan meletakkan di atas tanganku, dan memerintahkan engkau untuk taat kepada ayahmu ini? Dan sekarang saya menghendaki engkau turut bersama kami, berperang bersama kami….!!”

Mendengar argumen ini, Abdullah bin Amr dilanda kebimbangan yang amat sangat. Jauh di dalam hatinya, kebenaran yang sangat diyakininya, ia tidak ingin terlibat dalam pertikaian itu. Tetapi ia seakan tidak punya kekuatan menolak ketika diingatkan akan pesan Nabi SAW dan janjinya untuk melaksanakannya. Akhirnya ia mengikuti pertempuran tersebut dengan setengah hati dan berada di pihak Muawiyah. Ia mengetahui bahwa Ammar bin Yasir berperang di pihak Ali, dan masih jelas terngiang nubuwat Nabi SAW tentang kematian Ammar bin Yasir di tangan para pendurhaka. Ia hadir juga dalam penggalian parit khandaq ketika Nabi SAW menyabdakan hal itu.



Sebagian riwayat menyebutkan, ia tidak pernah mengangkat senjatanya walau ia berada di antara personal pasukan Muawiyah. Tetapi begitu ia mendengar kabar bahwa Ammar bin Yasir telah terbunuh, ia langsung berteriak keras, “Apa? Ammar telah terbunuh, dan kalian pembunuhnya? Kalau demikian kalianlah kaum pendurhaka itu, kalian berperang di jalan yang salah…..!!”

Abdullah bin Amr berjalan berkeliling sambil meneriakkan kata-kata tersebut sehingga melemahkan semangat pasukan Muawiyah. Ketika hal itu dilaporkan kepada Muawiyah, ia memanggil Amr bin Ash dan anaknya tersebut, dan berkatakepada Amr bin Ash, “Kenapa tidak engkau bungkam anakmu yang gila ini..!!”

Amr bin Ash hanya diam, tetapi justru Abdullah berkata dengan tegas tanpa ketakutan sedikitpun, “Aku tidak gila, tetapi aku telah mendengar Nabi SAW bersabda kepada Ammar, bahwa ia akan dibunuh oleh kaum yang durhaka atau aniaya…!!”

“Kalau begitu, kenapa engkau ikut bersama kami??” Tanya Muawiyah.

“Tidak, ” Kata Abdullah bin Amr, “Aku hanya mengikuti wasiat Nabi SAW untuk taat kepada ayahku, dan akutelah menaatinya dengan pergi kesini, tetapi aku tidak pernah ikut berperang bersamamu…!!”

Di tengah pembicaraan tersebut, pengawal Muawiyah mengabarkan kalau pembunuh Ammar ingin menghadap masuk. Abdullah bin Amr langsung berkata, “Suruhlah dia masuk, dan sampaikan kabar gembira kepadanya, dia akan menjadi umpan api neraka…!!”

Muawiyah menjadi murka mendengar perkataannya tersebut, tetapi Abdullah bin Amr tetap bertahan dengan perkataannya tersebut, bahwa pembunuh Ammar bin Yasir adalah kaum yang durhaka dan berperang di jalan yang salah, begitu Nabi SAW mengabarkan bertahun-tahun sebelumnya, dan ia meyakini akan kebenarannya. Ia berpaling kepada ayahnya dan berkata, “Kalau tidaklah Rasulullah menyuruh saya menaati ayah, saya tidak akan pernah menyertai perjalanan ayah ke sini, dan kini saya telah memenuhi wasiat beliau…”

Setelah itu Abdullah bin Amr kembali ke Madinah dan mengurung diri di mushalla rumahnya. Ia tidak habis-habisnya menyesali keterlibatannya di perang Shiffin dan berada di pihak Muawiyah. Ia selalu menangis dan mengeluh, “Wahai, apa perlunya aku ke Shiffin…apa perlunya aku memerangi kaum muslimin…!!!”

Suatu hari ia duduk di masjid bersama beberapa orang sahabat, lewatlah Husein bin Ali. Setelah menyampaikan salam, ia berlalu masuk ke masjid tanpa memperdulikan kumpulan sahabat. Abdullah bin Amr berkata, “Tahukah kalian penduduk bumi yang paling dicintai penduduk langit? Dialah Husein bin Ali yang baru saja berlalu di hadapan kita. Sejak perang Shiffin, ia tidak mau berbicara denganku…Sungguh, ridhanya kepadaku lebih aku sukai daripada barang berharga apapun juga…!!”

Ia meminta tolong kepada sahabat Abu Sa’id al Khudri untuk bisa bertemu dengan Husein, dan mereka diijinkan untuk berkunjung ke rumah cucu kesayangan Rasulullah SAW itu. Terjadilah berbagai macam pembicaraan, sampai akhirnya Husein bertanya, “Apa yang membawamu ikut berperang di pihak Muawiyah?”

Abdullah bin Amr berkata, “Ayahku pernah mengadukan aku kepada Rasulullah karena berpuasa setiap hari, shalat malam sepanjang malam dan mengkhatamkan al Qur’an setiap hari, maka Nabi SAW berwasiat kepadaku, ‘Hai Abdullah puasalah dan berbuka, shalatlah malam dan tidurlah, bacalah Qur’an dan berhentilah, dan taatilah ayahmu…’ Saat perang Shiffin terjadi, ayahku mendatangiku dan memaksaku mengikutinya dengan membawa wasiat Nabi SAW tersebut…tetapi demi Allah, aku tidak pernah menghunus pedang, melemparkan tombak atau melepaskan anak panah pada perang tersebut….”

Abdullah bin Amr juga menjelaskan apa yang dilakukannya terhadap Muawiyah setelah terbunuhnya Ammar bin Yasir, dan sikapnya meninggalkan pertempuran tersebut. Husein akhirnya ridha kepadanya setelah semua penjelasannya tersebut. Abdullah bin Amr menangis penuh haru.

Pada masa pemerintahan Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Amr meninggal pada usia 72 tahun di mushalla rumahnya, ketika itu ia baru selesai menjalankan shalat dan sedang bermunajat kepada Allah. Sungguh saat akhir yang amat indah (khusnul khotimah) yang amat dirindukan oleh semua kaum muslimin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *