gambar ilustrasi by iqra.id |
Sebagaimana diketahui, saat kaum Muhajirin berhijrah ke Madinah tidak membawa seluruh harta. Sebagian besar harta mereka ditinggal di Makkah, padahal mereka akan menetap di Madinah. Ini jelas menjadi problem bagi mereka di tempat yang baru. Terlebih lagi, kondisi Madinah yang subur sangat berbeda dengan kondisi Makkah yang gersang. Keahlian mereka berdagang di Makkah berbeda dengan mayoritas penduduk Madinah yang bertani. Tak pelak, perbedaan kebiasaan ini menimbulkan permasalahan baru bagi kaum Muhajirin, baik menyangkut ekonomi, sosial kemasyarakatan, dan juga kesehatan. (As-Siratun-Nabawiyah ash-Shahihah, hlm. 241)
Mereka harus beradaptasi dengan lingkungan baru. Sementara itu, pada saat yang sama harus mencari penghidupan, padahal kaum Muhajirin tidak memiliki modal. Demikian problem yang dihadapi kaum Muhajirin di daerah baru.
Melihat kondisi kaum Muhajirin, dengan landasan kekuatan persaudaraan, maka kaum Anshar tak membiarkan saudaranya dalam kesusahan. Kaum Anshar dengan pengorbanannya secara total dan sepenuh hati membantu mengentaskan kesusahan yang dihadapi kaum Muhajirin. Pengorbanan kaum Anshar yang mengagumkan ini diabadikan di dalam al-Qur’an, surat al-Hasyr/59 ayat 9, yang artinya: “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).”
Berkaitan dengan ayat di atas, terdapat sebuah kisah sangat masyhur yang melatarbelakangi turunnya ayat 9 surat al-Hasyr. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menceritakan:
“Ada seseorang yang mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (dalam keadaan lapar), lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengirim utusan ke para istri beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Kami tidak memiliki apapun kecuali air.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapakah di antara kalian yang ingin menjamu orang ini?” Salah seorang kaum Anshar berseru: “Saya,” lalu orang Anshar ini membawa lelaki tadi ke rumah istrinya, (dan) ia berkata: “Muliakanlah tamu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam!”
istrinya menjawab: “Kami tidak memiliki apapun kecuali jatah makanan untuk anak-anak.” Orang Anshar itu berkata: “Siapkanlah makananmu itu! Nyalakanlah lampu, dan tidurkanlah anak-anak kalau mereka minta makan malam!”
Kemudian, wanita itu pun menyiapkan makanan, menyalakan lampu, dan menidurkan anak-anaknya. Dia lalu bangkit, seakan hendak memperbaiki lampu dan memadamkannya. Kedua suami-istri ini memperlihatkan seakan mereka sedang makan.
Setelah itu mereka tidur dalam keadaan lapar. Keesokan harinya, sang suami datang menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Malam ini Allah tertawa atau ta’ajjub dengan perilaku kalian berdua.
Lalu Allah ta’alaa menurunkan ayat-Nya, (yang artinya): dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. al-Hasyr/59 ayat 9) (HR. Bukhari 3798).
Bagaimanapun pengorbanan dan keikhlasan kaum Anshar membantu saudaranya, namun permasalahan kaum Muhajirin ini tetap harus mendapatkan penyelesaian, agar mereka tidak merasa sebagai benalu bagi kaum Anshar. Di sinilah tampak nyata pandangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang cerdas dan bijaksana. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar.
Secara umum, Islam menyatakan seluruh kaum muslimin adalah bersaudara sebagaimana disebutkan dalam firman Allah ta’alaa surat al-Hujurat/49 ayat 10, yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara.” Konsekuensi dari persaudaraan itu, maka Islam mewajibkan kepada umatnya untuk saling tolong-menolong dalam al-haq. Namun yang menjadi fokus pembicaraan kita kali ini bukan persaudaraan yang bersifat umum ini, tetapi persaudaraan yang bersifat khusus antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar. Persaudaraan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar yang dideklarasikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki konsekuensi lebih khusus bila dibandingkan dengan persaudaraan yang bersifat umum.
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Sumber: kisahmuslim